Tuesday, September 28, 2010

Untuk APA kita belajar??

Kita belajar kerana Allah. Untuk kenal Allah dan untuk rasa rendah diri pada Allah.Semakin kita belajar semakin rasa cetek ilmu kita berbanding Allah.Semakin kita mengkaji semakin rasa betapa hebatnya Allah. Semakin kita membaca semakin tersingkap keagungan Allah.Maka akan bertambah tinggi kualiti ibadah kita pada Allah.

Jika semakin jauh kita dari mengingati Allah walaupun kita sudah banyak membaca, mengkaji,dan belajar,maka ada sesuatu yang tidak kena pada niat asal dan cara kita belajar.Jika asbab kita belajar menyebabkan kita sengaja melewat-lewatkan ibadah fardhu maka kita sebnarnya telah tertipu.Kita telah bina 'hijab' ilmu antara kita dengan Allah.Nauzubillah...

Allah...selamatkan diri kami,keluarga kami,sedara-mara kami dan ummat islam seluruhnya samaada yang hidup dan yang telah meninggal dunia dari kemurkaanMu wahai Tuhan yang Maha Pengampun.

Tuesday, September 21, 2010

Ohh Lisan..

Bismillahhirrahmanirrohim.. Alhamdulillah segala puji bagi ALLAH yg tiada ilah boleh disembah melainkanNYA.. selawat serta salam ke atas junjungan mulia Nabi Muhammad S.A.W, para ahlul bait, para sahabat & sahabiah, tabiin, tabi'-tabiin, serata seluruh muslimin & muslimat yg masih istiqomah & istimror dalam memperjuangkan agama yg suci lagi tinggi (islam) hingga ke hari akhir.. insyaALLAH

Banyak orang merasa bangga dengan kemampuan lisannya (lidah) yang begitu fasih berbicara. Bahkan tak sedikit orang yang belajar khusus agar memiliki kemampuan bicara yang bagus. Lisan memang karunia Allah yang demikian besar. Dan ia harus selalu disyukuri dengan sebenar-benarnya. Caranya adalah dengan menggunakan lisan untuk bicara yang baik atau diam. Bukan dengan mengumbar pembicaraan mengikut kemahuan sendiri.

Orang yang banyak bicara bila tidak diimbangi dengan ilmu agama yang baik, akan banyak terjerumus ke dalam kesalahan. Karena itu Allah dan Rasul-Nya memerintahkan agar kita lebih banyak diam. Atau kalaupun harus berbicara maka dengan pembicaraan yang baik. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar.” (Al-Ahzab: 70)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:

“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Al-Imam Al-Bukhari hadits no. 6089 dan Al-Imam Muslim hadits no. 46 dari Abu Hurairah)

Demikian berbahayanya lisan, hingga Allah dan Rasul-Nya mengingatkan kita agar berhati-hati dalam menggunakannya.

Dua orang yang berteman penuh keakraban bisa dipisahkan dengan lisan. Seorang bapak dan anak yang saling menyayangi dan menghormati pun bisa dipisahkan karena lisan. Suami isteri yang saling mencintai dan saling menyayangi bisa dipisahkan dengan cepat karena lisan. Bahkan darah seorang muslim dan mukmin yang suci serta bertauhid dapat tertumpah karena lisan. Sungguh betapa besar bahaya lisan.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:

“Sesungguhnya seorang hamba berbicara dengan satu kalimat yang dibenci oleh Allah yang dia tidak merenungi (akibatnya), maka dia terjatuh dalam neraka Jahannam.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 6092)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:

“Sesungguhnya seorang hamba apabila berbicara dengan satu kalimat yang tidak benar (baik atau buruk), hal itu menggelincirkan dia ke dalam neraka yang lebih jauh antara timur dan barat.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 6091 dan Muslim no. 6988 dari Abu Hurairah Rad. )

Al-Imam An-Nawawi mengatakan: “Hadits ini (yakni hadits Abu Hurairah yang dikeluarkan oleh Al-Bukhari dan Muslim) teramat jelas menerangkan bahwa sepantasnya bagi seseorang untuk tidak berbicara kecuali dengan pembicaraaan yang baik, yaitu pembicaraan yang sudah jelas masalahnya dan kapan saja dia ragu terhadap masalahnya, janganlah dia berbicara.” (Al-Adzkar hal. 280, Riyadhus Shalihin no. 1011)

Al-Imam Asy-Syafi’i mengatakan: “Apabila dia ingin berbicara hendaklah berpikir dulu. Bila jelas masalahnya maka berbicaralah, dan jika dia ragu maka janganlah dia berbicara hingga nampak masalahnya.” (Al-Adzkar hal. 284)

Dalam kitab Riyadhus Shalihin, Al-Imam An-Nawawi mengatakan: “Ketahuilah, setiap orang yang telah mendapatkan beban syariat, seharusnya menjaga lisannya dari semua pembicaraan, kecuali pembicaraan yang sudah jelas masalahnya. Bila keadaan berbicara dan diam sama masalahnya, maka sunnahnya adalah menahan lisan untuk tidak berbicara. Karena pembicaraan yang mubah bisa menarik kepada pembicaraan yang haram atau dibenci, dan hal seperti ini banyak terjadi. Keselamatan itu tidak bisa dibandingkan dengan apapun.”

Keutamaan Menjaga Lisan

Memang lisan tidak bertulang. Apabila keliru menggerakkannya akan mencampakkan kita dalam murka Allah yang berakhir dengan neraka-Nya. Lisan akan memberikan ta’bir (mengungkapkan) tentang baik-buruk pemiliknya. Inilah ucapan beberapa ulama tentang bahaya lisan:

1. Anas bin Malik : “Segala sesuatu akan bermanfaat dengan kadar lebihnya, kecuali perkataan. Sesungguhnya berlebihnya perkataan akan membahayakan.”

2. Abu Ad-Darda’ : “Tidak ada kebaikan dalam hidup ini kecuali salah satu dari dua orang yaitu orang yang diam namun berpikir atau orang yang berbicara dengan ilmu.”

3. Al-Fudhail : “Dua perkara yang akan bisa mengeraskan hati seseorang adalah banyak berbicara dan banyak makan.”

4. Sufyan Ats-Tsauri : “Awal ibadah adalah diam, kemudian menuntut ilmu, kemudian mengamalkannya, kemudian menghafalnya lantas menyebarkannya.”

5. Al-Ahnaf bin Qais : “Diam akan menjaga seseorang dari kesalahan lafaz (ucapan), memelihara dari penyelewangan dalam pembicaraan, dan menyelamatkan dari pembicaraan yang tidak berguna, serta memberikan kewibawaan terhadap dirinya.”

6. Abu Hatim : “Lisan orang yang berakal berada di belakang hatinya. Bila dia ingin berbicara, dia mengembalikan ke hatinya terlebih dulu, jika terdapat (masaalah) baginya maka dia akan berbicara. Dan bila tidak ada (masaalah) dia tidak (berbicara). Adapun orang yang jahil (bodoh), hatinya berada di ujung lisannya sehingga apa saja yang menyentuh lisannya dia akan (cepat) berbicara. Seseorang tidak (dianggap) mengetahui agamanya hingga dia mengetahui lisannya.”

7. Yahya bin ‘Uqbah: “Aku mendengar Ibnu Mas’ud berkata: ‘Demi Allah yang tidak ada sesembahan yang benar selain-Nya, tidak ada sesuatu yang lebih pantas untuk lama dipenjarakan dari pada lisan.”

8. Mu’arrifh Al-‘Ijli : “Ada satu hal yang aku terus mencarinya semenjak 10 tahun dan aku tidak berhenti untuk mencarinya.” Seseorang bertanya kepadanya: “Apakah itu wahai Abu Al-Mu’tamir?” Mua’arrif menjawab: “Diam dari segala hal yang tidak berfaidah bagiku.”

(Lihat Raudhatul ‘Uqala wa Nuzhatul Fudhala karya Abu Hatim Muhamad bin Hibban Al-Busti, hal. 37-42)

Buah Menjaga Lisan

Menjaga lisan jelas akan memberikan banyak manfaat. Di antaranya:

1. Akan mendapat keutamaan dalam melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya. Abu Hurairah Rad. meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:

“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 6090 dan Muslim no. 48)

2. Akan menjadi orang yang memiliki kedudukan dalam agamanya.

Dalam hadits Abu Musa Al-Asy’ari, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam ketika ditanya tentang orang yang paling utama dari orang-orang Islam, beliau menjawab:

“(Orang Islam yang paling utama adalah) orang yang orang lain selamat dari kejahatan tangan dan lisannya.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 11 dan Muslim no. 42)

Asy-Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali mengatakan: “Hadits ini menjelaskan larangan mengganggu orang Islam baik dengan perkataan ataupun perbuatan.” (Bahjatun Nazhirin, 3/8)

3. Mendapat jaminan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam untuk masuk ke surga.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda dalam hadits dari Sahl bin Sa’d :

“Barangsiapa yang menjamin untukku apa yang berada di antara dua rahangnya dan apa yang ada di antara dua kakinya (kemaluan) maka aku akan menjamin baginya al-jannah (surga).” (HR. Al-Bukhari no. 6088)

Dalam riwayat Al-Imam At-Tirmidzi no. 2411 dan Ibnu Hibban no. 2546, dari shahabat Abu Hurairah Rad. , Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:

“Barangsiapa yang dijaga oleh Allah dari kejahatan apa yang ada di antara dua rahangnya dan kejahatan apa yang ada di antara dua kakinya (kemaluan) maka dia akan masuk surga.”

4. Allah akan mengangkat derajat-Nya dan memberikan ridha-Nya kepadanya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda dalam hadits dari Abu Hurairah Rad. :

“Sesungguhnya seorang hamba berbicara dengan satu kalimat dari apa yang diridhai Allah yang dia tidak menganggapnya (bernilai) ternyata Allah mengangkat derajatnya karenanya.” (HR. Al-Bukhari no. 6092)

Dalam riwayat Al-Imam Malik, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali dalam Bahjatun Nazhirin (3/11), dari shahabat Bilal bin Al-Harits Al-Muzani bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:

“Sesungguhnya seseorang berbicara dengan satu kalimat yang diridhai oleh Allah dan dia tidak menyangka akan sampai kepada apa (yang ditentukan oleh Allah), lalu Allah mencatat keridhaan baginya pada hari dia berjumpa dengan Allah.”

Demikianlah beberapa keutamaan menjaga lisan. Semoga kita diberi kemampuan oleh Allah untuk melaksanakan perintah-Nya dan perintah Rasul-Nya dan diberi kemampuan untuk mengejar keutamaan tersebut. Wallahu a’lam.

Dikutip dari http://asysyariah.com Penulis: Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah An-Nawawi, Judul :Lidah Tak Bertulang

Monday, September 6, 2010

Mana jihad harta kita? atau belum terima telegram dari Allah?

Dengan nama ALLAH yg Maha Pengasih lagi Maha Penyayang..

Alhamdulillah dibulan ramadhan yg mulia ini, suka untuk saya mengajak semua sahabat yg dirahmati Allah untuk menyelusuri kisah benar kehidupan seorg pejuang dijalan Allah.. InsyaALLAH

Pada suatu hari, saya dikunjungi seorang kawan yang amat saya kasihi.. Wajahnya keruh diselaputi kesedihan dan keresahan yang tidak dapat saya duga puncanya.. Dengan rasa cemas saya bertanya: “Apa yang telah terjadi? Anta sakitkah?” Dia menggelengkan kepala. Saya bertanya lagi, meneka sesuatu yang lain pula:

“Ada sesuatu yang berlaku di rumahmu? Anak anta kemalangan? Anta kesuntukan wang?”

Setiap soalan yang saya ajukan, dijawab dengan gelengan kepala. Saya kehilangan idea untuk meneka, apa sebenarnya yang dialami oleh kawan saya ini. Walaupun ditanya bertalu-talu dia enggan menceritakan masalahnya. Namun akhirnya dia akur apabila saya tidak putus-putus mendesak agar dia meluahkan apa yang terbuku di benaknya.

Apabila dia mula membuka bicara, hati saya segera terusik, seluruh tubuh saya bergoncang dan mata saya terbeliak kagum dan terpegun!

Dia berkata:

“Ya akhi, sebenarnya saya memperuntukkan sebahagian daripada pendapatan bulanan saya untuk Allah. Pada setiap bulan, apabila saya menerima gaji, saya terus keluarkan sebagai sedekah dakwah saya. Saya tidak pernah mengabaikannya seperti saya tunaikan perkara yang wajib. Bagi saya ia cukai jihad ke atas saya.”

Saya berkata kepadanya:

“Apa yang anta lakukan itu memang sesuatu yang sangat baik. Saya berdoa mudah-mudahan Allah terima amalmu. Tetapi apa yang merunsingkan anta sekarang?”

Dia menjawab:

“Bulan ini saya terlewat membayar cukai jihad bulanan saya beberapa hari.. Pada hari saya terima gaji, saya terus pulang ke rumah.. Kerana sibuk dengan pelbagai urusan, saya terlupa untuk membayar apa yang saya lakukan setiap bulan.. Beberapa hari berlalu, saya menjadi lebih leka dan lemah semangat.. Pada masa yang sama, gaji yang saya terima semakin berkurangan.”

Saya memberikan pandangan:

“Kalau begitu, anta boleh bayar selepas dua hari, tiga hari, empat hari atau lima hari. Kalau anta kesuntukan wang, kami saudara-saudaramu, sahabat-sahabatmu dan teman-temanmu akan bantu.”

Dia berkata lagi:

“Sesungguhnya semenjak saya menanam azam dalam diri saya dan berjanji akan mengeluarkan sebahagian daripada gaji saya setiap bulan pada hari saya menerimanya, saya akan menerima amaran langsung daripada Allah sekiranya saya terlewat melakukannya. Allah akan mengutus kepada saya telegram berupa amaran dan persoalan, mana hak dakwahmu? Mana jihadmu?

Sekarang, soalan-soalan itu muncul lagi dan berlaku di depan mata ku di atas jasad anak-anakku. Dua hari lepas, yang seorang terkena demam panas membahang, yang lain pula menggigil kesejukan. Kereta aku mula rosak secara tiba-tiba yang tidak aku jangka. Pelbagai masalah yang memerlukan belanja lebih dalam bulan ini berlaku tanpa di jangka. Maka belanja yang terpaksa dikeluarkan untuk dua tiga hari lepas pun meningkat.

Maha Suci Allah! Keadaan akan bertukar. Dengan aku tidak mengeluarkan sedikit daripada gajiku untuk jihad, aku terpaksa menanggung perbelanjaan yang lebih tinggi untuk ubat anakku dan keperluan-keperluan lain. Aku telah terlewat membayar. Maka telegram pun tiba.

Inilah yang mendorong aku segera datang untuk melunaskan tanggungjawabku. Dan itulah sebabnya anta melihat saya sedih dan sugul. Saya telah terlewat membayar bahagian yang diperuntukkan untuk jihad daripada gaji bulanan saya!”

saudara2ku.. adakah kita turut merasa sebegini bilamana Allah melimpahkan rahmat nikmatNya kapada kita??

Saturday, September 4, 2010

Kehebatan Malam Al-Qadr



Dalam tulisan ringkas ini, cuba sama-sama kita hayati beberapa keistimewaan Lailatul Qadar seperti berikut :-

1) Malam berkat yang di turunkan padanya Al-Quran (secara sepenuhnya dari Lawh Mahfuz ke Baytil Izzah di langit dunia sebelum diturunkan kepada Nabi SAW secara berperingkat)

Justeru ia disifatkan sebagai malam penuh berkat dalam ayat 3 surah ad-Dukhaan. Pandangan ini adalah sohih dari Ibn Abbas, Qatadah, Sai'd Ibn Jubayr, ‘Ikrimah, Mujahid dan ramai lagi. (Tafsir Al-Baidawi, 5/157 ; Al-Jami Li Ahkam Al-Quran, Al-Qurtubi, 16/126 )

2) Di tuliskan pada malam tersebut "qadar" atau ketetapan bagi hidup, mati, gembira, rezeki, sihat, sakit dan apa jua berkaitan qadar manusia dan destinasi mereka pada tahun itu.

Ini diambil dari firman Allah s.w.t :-

فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ أَمْرًا مِّنْ عِندِنَا إِنَّا كُنَّا مُرْسِلِينَ

Ertinya : Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, urusan yang besar dari sisi Kami. Sesungguhnya Kami adalah Yang mengutus rasul-rasul ( Ad-Dukhan : 4-5)

Imam At-Tabari menyebut bahawa pada malam itu, diputuskan hal ajalnya seseorang, rezekinya, kejadiannya. Malah di malam tersebut juga, ditentukan siapa yang berkahwin dengan siapa, nama siapa yang termasuk dalam senarai kematian pada tahun berikutnya, apakah musibah yang akan menimpa dan lain-lain. Ia juga yang dihuraikan oleh Imam Qatadah, Mujahid dan Al-Hassan(Tafsir At-Tabari, 25/108 )

Imam Al-Qurtubi mencatatkan

Ertinya : Berkata Ibn Abbas, Allah s.w.t menghakimi atau menentukan urusan untuk dunia apabila tibanya Laylatul Qadar, dari segala urusan tentang kehidupan (hambanya) atau kematian atau rezeki (Al-Jami Li Ahkam Al-Quran, Al-Qurtubi, 16/126)

Demikian juga yang difahami dari apa yang disebut oleh Ibn Abbas. (Tafsir Ibn Kathir, 137/138). Imam An-Nawawi ada menghuraikan maksud panjang bagi hal ini. (Syarah Sohih Muslim, 8/57). Menurut pandangan yang lain qadar juga membawa bermaksud mulia atau agung.

Adakah kita sudah untuk meninggal dunia hari ini atau sebentar lagi?

Adakah merasa takut untuk menunggu kehadirannya?

Saya selalu cuba menghadirkan perasaan dan persoalan ini dalam minda saya, terutamanya ketika memandu kereta dan menaiki kapal terbang. Terbayang tayar meletup dan kereta terhumban, atau kapal terbang rosak dan menunggu maut hadir sebagaimana yang saya kerap dan suka saya lihat perbincangan mengenainya di dalam rancangan 'Air Crash' terbitan National Geogharphic Channel.

Jika belum merasa sedia, maka apakah sebabnya? Adakah umur yag diberikan belum mencukupi?, atau aqal belum sempurna berfikir untuk menyiapkan persediaan.? Bukankah kita merupakan insan normal yang punyai aqal sihat, malah kita amat marah digelar 'bodoh' oleh orang lain.

Lantas, apakah lagi alasan yang ingin kita sebutkan? Adakah kerana terlalu sibuk mengejar dunia dan leka dengan kenikmatan sementaranya, sehingga tiada masa memikirkan ibadah dan mengetahui perkara halal serta haram.

Justeru, malam Al-Qadr boleh menjadi satu peluang dan ruang untuk berdoa memanjangkan umur dalam ibadah, amal soleh dan rezeki yang baik. Berusahalah.

Sama-sama kita hidupkan malam-malam akhir Ramadhan dengan dengan beribadat sehabis mungkin bagi memastikan yang terbaik buat destinasi hidup kita.

Hanya beberapa hari sahaja untuk bersengkang mata dan melawan nafsu tidur dan rehat. Jika kita punyai cuti yang agak panjang sebelum raya, habiskan ia dengan bacaan Al-Quran dan fahami ertinya. Nafsu 'shopping' dan rehat pasti akan menganggu. Lawani ia, hanya beberapa hari sahaja, paling panjang 10 hari sahaja.

3) Malam ini terlebih baik dari seribu bulan untuk beribadat.

Perlu difahami bahawa para ulama berbeza pandangan dalam pengertian seribu bulan kepada pelbagai takwilan. Cuma Imam At-Tabari selepas membawakan hampir semua pendapat-pendapat semua pihak ia mentarjihkan dengan katanya :-

وأشبه الأقوال في ذلك بظاهر التنزيل قول من قال عمل في ليلة القدر خير من عمل ألف شهر ليس فيها ليلة القدر

Ertinya : Pendapat yang paling tepat dari zahir teks nas yang diturunkan adalah pendapat yang mengatakan erti Seribu bulan adalah "beramal di laylatu Qadr sama dengan amalan seribu bulan yang tiadanya lailatul Qadr ( selain bulan Ramdhan) ( At-Tabari, 30/259)

Imam Malik dalam al-Muwatta' membawakan satu hadis Nabi s.a.w yang memberi makna seribu bulan itu adalah gandaan sebagai ganti kerana umur umat zaman ini yang pendek berbanding zaman sebelum Nabi Muhammad SAW yang amat panjang seperti Nabi Nuh as. (Al-Muwatta, no 698, 1/321 ; Al-Jami' Li Ahkamil Quran, Al-Qurtubi, 20/133 ; Syeikh Atiyyah Saqar, Min Ahsanil Kalam Fil Fatawa, dengan pindaan).

4) Pada malam itu, turunnya para Malaikat dan Ruh (Jibrail as).

Hal ini disebutkan di dalam al-Quran dari surah al-Qadr. Manakala, dalam sebuah hadith disebutkan bahawa pada malam tersebut, malaikat akan turun dan berjalan kepada seluruh individu yang sedang beribadat secara berdiri, duduk, bersolat, berzikir, serta memberi salam kepada mereka dan mengaminkan doa mereka maka Allah akan mengampunkan mereka kecuali empat kumpulan : Peminum arak, penderhaka ibu bapa, pemutus siltarurrahmi dan individu yang sedang bermusuhan.

5) Malam itu juga disebutkan sebagai malam yang sejahtera.

Hinggakan Syaitan juga tidak mampu untuk melakukan kejahatan dalamnya. (Tafsir Ibn Kathir, 4/531 ; Al-Qurtubi, 20/134 ) . Sejahtera dan keberkatan ini akan berterusan sehingga naik fajar dan bukannya pada saat tertentu sahaja. Hal ini juga di sebutkan dari firman Allah dalam surah al-Qadr.

6) Diampunkan dosa terdahulu bagi sesiapa yang menghidupkannya dengan iman, ikhlas dan mengharap redha Allah;

Ia berdasarkan hadith sohih riwayat al-Bukhari dan Muslim. (Fath al-Bari, 4/251)

Hidup kita adalah pendek, panjangkan ia dengan amal jariah dan amalan soleh melebihi seribu bulan.

Sekian

Zaharuddin Abd Rahman

http://www.zaharuddin.net/

Thursday, September 2, 2010

Bagaimana boleh Bertahan??

Ianya boleh di bincangkan bagaimana atau betul dan salahnya. Tapi ia hanya pengalaman dari sunnatullah. Kita berusaha dan orang lain juga berusaha… tak semestinya kita bangga dengan pencapaian kita. Maybe ada formula lain yang lebih baik.

Fasa semasa belajar adalah fasa yang paling kritikal. Di masa itu, ia umpama besi yang berada di leburan atau relaunya. Semasa itulah masa untuk dibentuk oleh apa saja ideologi dan trend. Siapa yang cepat dan mampu bekerja keras dengan menggunakan sunnatullah yang paling tepat, nescaya dia berjaya membentuk seramai mungkin bentuk-bentuk manusia yang ada di dalam masyarakat.

Oleh kerana masa itu pendek dan masa belajarlah saat paling mudah untuk diubah, maka saat itu juga perlu dibentuk ke tahap paling maksima. Maksima dari segi swing kepada Islamnya, maksima dari segi semangatnya, maksima dari segi keinginan dan rasa perlu kepada ilmu. Juga maksima untuk berpisah dari jahiliyyah akidah, perasaan dan kelakuan tingkahlaku.

Berjaya atau tidak semasa pembentukan dan pembenturan semasa fasa menjadi pelajar, itulah yang membentuk keinginan hidupnya semasa selepas belajar. Ingin atau tidaknya untuk meneruskan apa yang difahami dan dipegangi semasa zaman belajar ditentukan banyak oleh ia mencapai tahap lulus atau melepasi ‘area’ gelombang. Selepas gelombang akan ada kawasan tenang dan aman. Sesiapa yang tidak dapat melepasi area gelombang itulah maka ia akan terumbang ambing selepas zaman belajar !



Oleh itu……

Usaha maksima perlu dilakukan semasa zaman belajar….. adakah anda sebagai murabbi/murabbiyah sanggup bertungkus lumus untuk itu? Atau mad’u anda akan meninggalkan anda dengan senyum selepas zaman belajar mereka dan berkata: “terima kasih bang/akak kerana membantu saya ber’halaqah’ semasa saya di IPT….” Tapi lepas kerja ni tengoklah dulu samada saya akan bersama atau tidak……!

Murabbi/murabbiyah nya terkebil-kebil…. di mana silap aku?

Tapi semua hati manusia adalah di dalam kuasa ar-Rahman, di bolak balikkan ke mana yang dikehendakiNya.